
Sinar sang rembulan yang terang benderang mengiringi perjalanan pulang taxi yang aku tumpangi malam ini. Disertai music jazz yang diputar oleh sang sopir, membuatku tak sabar ingin menyentuh kasur lembutku .
Ya, malam ini adalah kerja lemburku. Dan saat ini, kelopak mataku seakan saling tarik menarik seperti dua kutub magnet. Bagaimana tidak? Hampir lima gelas kopi kuminum pagi tadi. Dan dari pagi hingga mobil kuning ini membawaku sampai ke apartemen kota, kulalui hari tanpa mata terpejam sekali pun.
Setibanya di apartemen, tanpa pikir panjang, kuhamburkan badanku ke kasur empuk nan wangi. Dan mulai kupejamkan dua bola mataku. Melepaskan segala penat yang membebaniku dari tadi.
“DUM…” Suara dentuman air membangunkan tidur lelapku.
“Suara air laut!?” pikiranku dengan pelan-pelan tapi pasti mulai mencerna keanehan yang kualami.
“Apartemenku terletak di tengah kota dan sangat jauh dari laut. Suara sungai kah? Tapi sungai terdekatpun berjarak berkilo-kilo meter jauhnya. Apakah ada saluran air yang meledak?” pikiranku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan dan spekulasi.
Kemudian, mataku menangkap lorong panjang yang berada tepat di depan pintu kamar. Aneh, tapi kedua mata ini tak bisa berbohong dariku. Di sisi kanan kiri lorong itu, banyak pintu yang berjejer panjang. Karpet merah, serta dinding besi yang sudah berkarat mendominasi lorong tersebut. Terkesan creepy. Namun tak tau mengapa, kulangkahkan kakiku dan berjalan di lorong yang menyeramkan ini.
“DUM…” Sekali lagi suara yang sama dengan disertai goncangan yang berhasil membuatku terhuyung-huyung hingga terjatuh di lorong.
Kali ini pikiranku sudah menemukan jawaban pasti bahwa suara itu adalah dari air laut yang bertabrakan dengan dinding kapal. Bukannya mengada-ada, tapi keadaan yang kurasakan ini pernah kualami sekali saat aku menaiki kapal feri pada liburan tahun lalu. Semuanya sekilas sama. Suaranya, goncangannya, rasa mualnya.
Di lorong itu, sekilas aku melihat artikel di dinding besi berkarat. Sebuah tulisan “Van Verebochs Yacht” -dan beberapa tulisan lainnya yang tak aku pahami bahasanya- yang dipasang pada bingkai emas yang membuatnya sedikit indah.
Dari temuan itu, banyak pertanyaan berkutat di pikiranku. Sebenarnya tempat apa ini? Di mana aku? Dan yang pasti aku ingin sekali mengakhiri mimpi bodohku ini.
“DUM…”
Suara dentuman air laut masih kerap kali aku dengar. Kian jelas dan keras. Menggiring tubuhku yang terhuyung-huyung hingga pintu paling ujung lorong.
“CTASS…”
Suara lecutan cambuk yang begitu keras, keluar dari pintu di depanku. Ku intip pintu berbahan dasar baja tersebut. Kudapati para awak kapal yang tertunduk tapa baju. Juga seorang kapten yang berdiri di depan mereka,membawa cambuk yang siap meluncur kapan saja.
“CTASS…”
Lecutan kembali mendarat di punggung salah satu awak. Membuat darah mengalir cepat karena luka yang menganga lebar. Aku tau, ia menahan rasa sakit yang ia rasakan.Tetapi,apa alasannya? Kepalaku mulai berdenyut ngilu.
“DOR…”
Kali ini aku dikagetkan dengan suara tembakan yang keluar dari pintu kanan. Ku intip dari lubang kaca pintu.Tunggu? Apakah mataku tak salah lihat? Kapten itu kembali muncul di dalam pintu kanan. Namun, kali ini ia membawa sebuah senapan di tangannya. Di kakinya banyak sekali tubuh yang tergeletak tanpa nyawa, serta genangan darah merah yang masih segar. Apa ini? Di mana sebenarnya aku berada? Kepalaku berdenyut semakin hebat. Pertanyaan-pertanyaan itu tak ingin enyah dari otakku. Aah…
Sedetik, wajah kapten itu mengalihkan pandanganya ke arahku. Aku pun mundur beberapa langkah karena tatapan mata tajamnya. Hingga aku berinisiatif untuk lari ke kamarku. Kembali berselimut di atas kasur yang empuk. Namun tak ada guna. Aku tak ingat,kapan pintu kamarku ini tertutup dan terkunci.
Dari arah belakang, suara langkah kaki yang sedikit terseret mendekat ke arahku. Sesaat kemudian nampak bayangan hitam dari ujung lorong. Aku mengenalinya.
“Kapten itu!”
Jantungku berdetak hebat. Aku juga mulai kesusahan mengatur napas yang naik turun. Ia semakin mendekat, mendekat, dan lebih mendekat lagi.
Aku hanya memejamkan mata dan berharap bisa bangun dari mimpi yang tak jelas asal-usulnya ini. Dan…
“Tiiiit…”
Napasku terengah-engah. Keringat dingin mengucur membasahi pelipis hingga daguku.
Masih sama. Aku di atas kasur. Aku masih mencerna hal yang menimpaku tadi. Mimpi???